TEMPO.CO, Jakarta - Dewi Kanti, 39 tahun, merasa menjadi "bunglon" sejak ia memiliki kartu tanda penduduk pada usianya yang ke-17. "Saya dipaksa menuliskan agama Islam di KTP," katanya, Senin, 17 November 2014, di gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta.
Dewi memang tidak beragama Isla. Ia pun tidak menganut kelima agama lain yang diakui pemerintah. "Saya pelestari spiritual Sunda Wiwitan," katanya. Kepercayaan yang berasal dari para leluhur itu masih dia anut hingga saat ini. (Baca: Kolom Agama Kosong, Ansor: Orang Wafat Diapakan?)
Banyak pengorbanan yang dia dan keluarganya rasakan untuk tetap mempertahankan kepercayaannya. Uyut, ibunda kakek Dewi, pernah dibuang ke daerah Papua pada zaman penjajahan. Ayahnya bahkan dipenjarakan tanpa proses hukum pada 1965.
Ayahnya dipenjara lantaran pernikahan adat yang dia langsungkan tidak mengikuti ajaran satu pun agama besar Indonesia. Rumah adatnya pernah dibakar oleh Darul Islam/Tentara Islam Indonesia karena dianggap sesat. Tindakan diskriminatif oleh negara dan lingkungannya itu dia rasakan hingga sekarang. (Baca juga: MUI Setuju Pengosongan Kolom Agama di KTP)
Saat kecil, Dewi dicibir teman-temannya karena agamanya berbeda. Masyarakat pun memberikan stigma negatif dengan menghakimi bahwa kepercayaan yang dia anut sesat dan tidak bertuhan. "Padahal kepercayaan kami itu jauh dari agama Islam."